Powered By Blogger

Senin, 20 Juni 2011

Mungkin sebagian orang tidak mengenal istilah ABG, tetapi kaum muda tentunya mengerti betul istilah tersebut. Baiklah, ABG adalah singkatan dari Anak Baru Gede, jadi identik dengan anak-anak yang berumur belasan tahun. Memang apa istimewanya ABG toh, kenapa sampai perlu dibahas di sini?
 
Nah...., ini baru pertanyaan!
 
Anak-anak ABG mulai mengenal eksistensi dirinya. Oleh karena itu mereka biasanya merasa sudah gede (besar), sudah tahu sehingga cenderung ingin bebas dari otoritas orang tua. Perintah-perintah, larangan-larangan bahkan terkadang nasehat orang tua dianggap mengurangi kebebasan, keinginan ataupun "yang mereka anggap hak"untuk melakukan sesuatu yang mereka inginkan.
 
Kecenderungan untuk bebas ini diungkapkan dengan ngambek pada awal mulanya, kemudian dilanjutkan dengan sikap membantah atau menentang yang dapat berkembang ke tahap yang lebih parah yaitu membangkang atas pernyataan, nasehat atau apapun dari orang tua terlepas itu baik atau tidak.
 
Puncaknya adalah pertentangan antara orang tua dan anak yang biasanya menjurus ke hal-hal yang negatif, misalnya: tidak betah di rumah, mulai bergaul dengan hal-hal yang tabu atau terlarang seperti narkoba dan lain-lain dipihak si anak. Dan sebaliknya di pihak orang tua selalu berprasangka buruk, hilangnya kepercayaan, dan selalu marah-marah.
 
Mari kita ambil contoh
 
Si Andi misalnya, anak orang yang berkecukupan, orang tuanya selalu ingin mendapatkan yang terbaik bagi anaknya. Maka si Andi diikutikan kursus piano, bahasa Inggris, melukis, komputer, Mandarin dan lain-lain, sehingga jadwal sehari-harinya menjadi padat dari pagi sekolah hingga les dan mengerjakan pekerjaan rumah (PR) pada sore harinya.
 
Jika kita lihat memang si orang tua bertujuan baik, ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya dan si Anak secara tidak disadarinya akan menjadi disiplin mengatur waktu agar dapat mengikuti jadwal hariannya. Ini bisa berakibat positif yaitu karena sibuk sehingga tidak ada waktu untuk melakukan hal-hal yang negatif.
 
Tapi......, di sisi lain bila kita tanya pada si Anak, apakah kamu bangga bisa mempelajari berbagai macam ilmu?
 
Mungkin jawabnya adalah: "Saya stress, capek! Disuruh les ini, les itu, belum lagi PR atau tugas dan ulangan dari sekolah, sungguh menyebalkan tidak ada waktu santai, tambahan saya kan tidak suka piano dan Inggris!"
 
Kita ambil contoh lain yaitu si Billy
 
Billy juga mengalami nasib yang mirip dengan si Andi. Billy dikursuskan Inggris padahal dia suka kursus gitar. Billy pernah protes pada orang tuanya bahwa dia tidak suka kursus Inggris, dia ingin kursus gitar. Tapi si orang tua malah menjawab bahwa Inggris lebih penting dan berguna di kemudian hari daripada gitar. Untuk apa kursus gitar?
 
Dari beberapa contoh kecil (yang saya anggap amat sempit dan kecil dari jutaan masalah yang ada) di atas, sebenarnya benih-benih konflik antara orang tua dan anak sudah mulai terlihat, jika ini terjadi terus menerus dan tanpa disadari akan menumpuk, sehingga tidak jarang suatu saat akan terjadi konflik terbuka.
 
Bagaimana orang tua menyikapinya?
 
Apakah dengan omelan, kemarahan atau bahkan dengan pukulan?
 
Bagaimana pula si ABG menyikapinya?

  1. Dengan menurut walaupun menggerutu dalam hati?
  2. Dengan menentang sehingga terjadilah perang mulut yang diakhiri dengan cap "durhaka" bagi si anak?
  3. Dengan menipu (pura-pura menurut padahal tidak di belakang)?
  4. Dengan lari dari masalah / problem. Hal ini ditandai dengan minggat, mengkonsumsi narkoba dan masih banyak yang lain yang takut saya sebutkan satu persatu?
Eit, tetapi jangan buru-buru mengambil kesimpulan dulu.
 
Kita lihat contoh lain!
 
Charlie, orang tuanya-pun mampu, bahkan boleh dibilang kaya. Orangtuanya-pun ingin yang terbaik bagi anaknya, maka si Charlie diberi kebebasan memilih les / kegiatan (tentu saja yang positif). Soal biaya tentu tidak jadi masalah. Tetapi si Charlie tidak melakukan apa-apa, karena dia bingung mau kursus apa? Pernah dia coba untuk ikutan teman kursus komputer, tapi baru sebulan sudah berhenti, lalu dia coba kursus Inggris , inipun tidak menarik minatnya. Charlie mencoba ikut teman kursus Mandarin, susah lalu berhenti juga. Akhirnya dia berhenti, tidak melakukan kegiatan apa-apa, cuma nonton TV / VCD dan main game saja sepulang sekolah.
 
Sekarang, kita tinjau si Dino, anak orang yang boleh dibilang pas-pasan. Tentu saja orang tuanya tidak mampu membiayai kursus. Tapi Dino ini ingin sekali belajar mesin, jika melihat mesin pikirannya sudah terbang menerawang bahwa dia suatu saat akan dapat membuat mesin ini dan itu. Apa mau dikata, uang tidak ada, maka tidak sampai niat si Dino.
 
Walaupun begitu si Dino, sepulang sekolah, tidak pernah absen untuk nongkrong di depan bengkel yang kebetulan dekat rumahnya. Mula-mula hanya nonton orang bekerja, lama-lama tidak tahan untuk bertanya ini dan itu. Lama-lama dia minta ijin untuk membantu. Karena rajinnya, si pemilik bengkel memberi sedikit upah, yang dikumpulkannya untuk membeli buku-buku mesin.
 
Sekali lagi kasus-kasus ini hanyalah sebagian kecil yang kita hadapi dalam hubungannya dengan ABG.
 
Adakah kita pernah berpikir, bagaimana kita harus bertindak bila kita sebagai orangtua dari seorang anak ABG?
 
Sebaliknya...jika kita sebagai ABG, bagaimana kita harus membawa diri?
 
Apakah bisa hal ini kita hubungkan dengan Tao?
 
Jawabannya: Tentu bisa!
 
Sebenarnya kita bisa mengambil prinsip Wu, Im-Yang dan Ceran / Ziran ( ).
 

KENAPA WU?
 
Sebagai orang tua kita harus Wu. Jaman berubah, kebutuhan berbeda, keinginan orang tidak sama, maka kita harus mengenali watak, bakat dan sifat dari anak kita.
 
Jadi jangan lagi beranggapan bahwa kita yang paling tahu dan paling benar menentukan apa yang terbaik bagi si ABG tsb. Kita dapat memposisikan diri sebagai teman sehingga si Anak merasa senang berdialog dan berdiskusi dengan kita, sehingga pelan-pelan kita bisa mengarahkan mereka untuk berpikir / Wu sendiri untuk hal-hal yang akan dilakukannya.
 
Memang tidak mudah merangsang / mengarahkan anak untuk berpikir Wu, tetapi bila kita berhasil maka kita akan melepasnya dengan tenang jika si ABG sudah dewasa kelak.
 
Sebagai ABG, kita juga harus Wu. Salah satunya adalah "Orang tua tidak akan mencelakakan anaknya sendiri".
 
Prinsip ini kadang terlupakan oleh ABG sehingga apapun yang dilakukan orang tua dianggap hanya membatasi kebebasan saja.
 
Coba berpikirlah lagi, benarkah itu ?????
 
Bagaimana kita dapat mengkompromikan ke-inginan / kemauan kita?
 
Tapi bukan berarti meng-akal-i lho ya!
 
(Sekali berbohong, orang tua akan susah percaya lagi, tambahan pula yang rugi nantinya adalah DIRI SENDIRI).
 
Cobalah ajak berdialog, mungkin pendapat orang tua yang benar dan baik bagi kamu, mungkin pendapatmu benar dan orang tua menyadari itu sehingga akan melepas kamu dengan lega.
 

KENAPA CERAN?
 
Memang Ceran / Alami ( ) ini hal yang paling mudah tetapi sekaligus membingungkan banyak orang.
 
Sebagai orang tua, kita secara "alamiah" memang akan memarahi anak bila ada hal-hal yang buruk apalagi kurang ajar yang dilakukan anak kita.
 
Secara alamiah pula kita merasa bertanggung jawab akan pendidikan dan masa depan anak.
 
Tapi apakah Ceran ( ) nya hanya sampai sebatas itu? Sehingga dengan dasar Ceran ini (orangtua lebih tua, lebih tahu, lebih berpengalaman) kita memaksakan kehendak kita kepada anak karena kita pikir anak kita akan sukses bila menuruti kehendak kita. Ada orangtua yang bahkan mendikte setiap gerak dan langkah anaknya.
 
Apa anaknya robot, ya ?
 
Bukan Ceran ( ) lagi itu namanya!
 
Ceran memang berarti alamiah tetapi arti alamiah ini amatlah luas, maka dalam kehidupan sehari-hari dalam mengaplikasikan Ceran ( ) haruslah dikombinasikan dengan Wu. Dalam contoh orangtua anak ini, kita harus Ceran ( ) dalam mendidik anak dalam arti disesuaikan dengan kondisi, situasi dan kemampuan.
 
Jangan lupa dalam mendidik hal yang paling mendasar adalah memberi contoh, maka dalam kehidupan sehari-hari, perilaku kita adalah contoh Ceran ( ) bagi anak-anak kita.
 
Sebagai ABG:
  • Adalah Ceran ( ) bila kita menghormati dan menuruti nasehat orang tua.
  • Adalah Ceran ( ) juga bila kita mengemukakan apa yang kita mau / inginkan (tentunya dalam batasan yang baik / Wu, karena kelak kita ingin jadi orang yang baik bukan?
Janganlah mengartikan Ceran ( ) ini secara ngawur! Misalnya: "Pah, saya kan sudah gede, Ceran ( ) kan Pah, kalau saya ingin merokok?"
 
Nah , bagaimana kalau kedua point di atas bertentangan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar